Senin, 30 November 2015

guide me GOD

outpouring of the heart for the Lord GOD no one can erase from the heart until whenever, this creature has a lot to do things that are prohibited by MU started now accept repentance ku O GOD, to mak father mimi mama probably son-in-law you can not make happy but son-in-law you will mengasih happiness there God willing, for my wife thank you for accompanying me during this father loves you very much until whenever, for my son's father love you sorry if the father is not always beside Mujadilah filial to parents, religion, country , the most important of your god gOD, keep them yes gOD give them happiness

Kamis, 26 November 2015

son of the cirebon

as a native son I'm proud to be citizens cirebon because cirebon has a wealth that can not be owned by another town

 Hasil gambar untuk wajah asli cirebon

amazing of cirebon

hi friends in the world Pay a visit in our beautiful city that is diverse arts culinary culture and handicrafts such as batik trusmi famous motif mega cloudy and craft rattan village tegal fragrant worldwide as well as religious tourism in Cirebon that many visit local and foreign tourists

 Hasil gambar untuk artikel tentang cirebonHasil gambar untuk artikel tentang cirebon 

Selasa, 24 November 2015

wangsalan lucu wong cirebon

wedang bandrek wedang bajigur demen dewek ngaku batur

mie koclok mantap

Satu lagi kuliner khas Cirebon yang penyajiannya cukup unik. Ya.. Mie koclok memang berbeda penyajiannya dengan mie-mie yang lain. Mie Koclok merupakan mie kuning yang dicampur dengan toge, kol, suwiran daging ayam, telur, kemudian disiram dengan kuah santan kental yang gurih. Merupakan makanan yang nikmat dengan cita rasanya yang khas.

cemilan murah 1000an

Serabi memang ada di tempat lain, tapi ini juga masuk dalam daftar salah satu kuliner khas Cirebon. Serabi ini rasanya gurih, yang bisa jadi camilan untuk pengganjal perut di kala lapar. Serabi merupakan kue tradisional yang sudah dibuat masyarakat Cirebon sejak zaman dulu.
Serabi begitu mudah ditemukan di pinggir jalan atau di pasar-pasar di Cirebon dan dijual kebanyakan di pagi hari sebagai makanan sarapan. Bahan-bahannya terdiri dari tepung beras, santan dan kelapa parut. Serabi dianggap makanan khas Cirebon karena mereka memiliki cara makan Serabi yang berbeda dengan orang Jawa.
Di Jawa, serabi disiram dengan cairan gula merah atau kinca. Tapi di Cirebon, Serabi dimakan dengan gorengan seperti halnya orang Sunda memakan gorengan dengan lontong atau buras. Harganya mulai dari Rp 1.000 per satuannya.

nasi lengko sedaaaaaaaaaaaaaaaaaap

Nasi lengko merupakan kuliner khas Cirebon yang cocok bagi wisatawan yang suka sayur. Nasi lengko 100 persen tidak mengandung daging, yang hanya berupa sayur mayur dan protein nabati saja.
Nasi lengko berupa nasi putih, tempe goreng, tahu goreng, mentimun, toge, daun kucai dan bawang goreng. Itu jadi satu dan disiram bumbu kacang, yang menjadikannya terasa segar dan pasti nikmat.
Tambahkan kecap untuk menambah rasa manis, atau kerupuk untuk selingannya. Harga seporsi nasi lengko mulai dari Rp 10 ribu saja, cukup terjangkau. Sudah murah, sehat lagi karena kaya dengan serat.

pesona cirebon 5

Ciri khas bahasa cirebon adalah adanya penambahan kata ‪#‎jeh‬ dan ‪#‎tah‬, dah sering dipakai oleh bukan orang cerbon juga #jeh..., teruma #tah, iyo bli...?

pesona cirebon 4

Sebuah perjalanan dalam renungan akan keindahan kesenian Cirebon melahirkan sebuah catatan yang ”belum terselesaikan”, ketika menelusuri jejak-jejak tari topeng Cirebon dalam permulaan dari penciptaan gerak-gerak indah yang diungkapkan Kanjeng Sunan Kalijaga hingga melahirkan 5 (lima) karakter tarian topeng Cirebon.
Kesenian Cirebon yang diwariskan secara tradisi (turun menurun), merupakan karya-karya adhiluhung yang lahir dari keindahan spiritual orang-orang pilihan Allah. Dimana kesenian Cirebon merupakan pencerminan dari kehidupan manusia di alam bathin yang hidup dalam kehidupannya yang hakiki. Disinilah letak rahasianya, sehingga didalam melestarikan keutuhan karya-karya seni dahulu yang kita warisi, diupayakan kemurniannya tetap terjaga. Karena dari karya-karya seni yang adhiluhung inilah, tersimpan mutiara-mutiara yang bercahaya yaitu “ilmu mengenai kebenaran tentang keindahan” yang apabila terungkap, maka karya-karya seni di Cirebon akan berkembang dengan pengembangan yang tiada batas, dan dengan tidak merusak karya-karya seni adhiluhung yang dilahirkan para wali Allah.
Rahasia kesenian, tersembunyi dibalik pengetahuan serta teorinya. Dan teori dilahirkan dari sebuah rumusan yang merupakan “perwujudan” dari makna spiritual, yang terkandung di dalamnya. Kemudian dari sini lantas kita bertanya, bagaimana bentuk rumusannya sehingga teori kesenian dapat dilahirkan. Inilah hal yang sangat penting yang harus diketemukan. Karena dengan ditemukannya rumusan-rumusan tersebut, maka karya-karya seni yang baru akan lahir dan berkembang dengan tanpa batas. Dan karya-karya seni dari para wali Allah pun, tetap terjaga kelestariannya. Jadi pelestarian visual serta pengetahuan dan teori kesenian adhiluhung yang tetap terjaga kemurniannya, adalah kunci untuk mengembangkan hasil karya-karya baru yang indah, ketika telah terungkap mengenai kebenarannya.
Di Cirebon ada beberapa jenis Kesenian yang termasuk ke dalam Kesenian Adhiluhung diantaranya yaitu : Wayang Kulit, Barongan/Berokan, Topeng, dan Ronggeng/Tayub. Dan ini diisyaratkan dalam transkripsi 7375 yang terdiri dari 41 buah Suluk dari daerah Cirebon (Menurut Pigeaud, bahwa naskah ini terdiri dari 181 halaman, berukuran 22 x 35 x 1cm berbahasa Jawa, berbentuk puisi dan isinya mengenai mistik. Puisi-puisi ini disusun / disalin / dihimpun oleh Sultan Adijaya dan penghulu bernama Abdul Kahar dari Cirebon, dan diperlihatkan kepada Snouck Hurgronje oleh patih Bratawijaya pada tahun 1896 dengan sepuluh Surat berbahasa Sunda / Pigeaud, II, 1967 : 424. Salinan tersebut mulai disalin pada tahun 1891 dan termuat dalam manuskrip / KBG No: 66 ; sebuah salinan lagi dibuat tahun 1876 pada daun lontar / palmeaf dari manuskrip milik Pangeran Raja Keprabonan Cirebon / Dr. Simuh, Suluk The Mystical Poetry of Javanese Muslims, hlm ; 1) .
Suluk Topeng terdiri dari 18 Suluk dalam bentuk pupuh Pucung, yang dua diantaranya yaitu bait pertama dan kedua, penulis mencoba untuk menterjemahkan berdasarkan pemahaman pribadi seperti dibawah ini.
Suluk Topeng Pucung
1. Topeng angleger sedheng mangsané bedug, dénya mung paésan. Hakékat kang sebeneré, sinawang Cipta adhining petopéngan.
Terjemahan : Kedhok yang dipakai (Dhalang Topeng) dikala saat tarian berlangsung, sesungguhnya hanya hiasan. Hakekat yang sebenarnya, tersirat dalam ungkapan luhurnya gerak tarian topeng.
2. Ya dhalangé ya wayangé dénya nengguh, ora nana liyan. Mung masi (h) aling-alingé, aning rerai kedhok pinangka wrana.
Terjemahan : Ya dhalangnya ya wayangnya nyata terkesan, tidak ada yang lain (hanya satu wujud). Tetapi masih ada penghalangya, kedhok di wajah merupakan halangan (dalam penyatuan).
Topeng sebagai perlambang hakekat ditegaskan dalam Suluk bait ke dua, dimana hijab yang membatasi jarak antara hamba dan Tuhan dilambangkan hanya sebatas muka yang tertutup kedhok. Sedangkan yang dimaksud pada bait ke satu, yang pertama adalah : Kedhok hanya hiasan apabila gerak tari tidak berada di dalamnya (kata sandi dari hiasan : hidup yang dihidupkan).
Dan tidak ada kehidupan pada kedhok walaupun ia hidup karena gerak tari, apabila dhalang topeng tidak menggerakkan gerak tariannya. Sedangkan dhalang topeng / penari tidak dapat menggerakkan gerak tariannya kalau tidak karena Allah.
Disini artinya bahwa :
Kedhok = Jiwa
Gerak tari = Roh
Dhalang topeng = Roh Idhofi/Nyawa.
Sedangkan yang ke dua bahwa, tari Topeng Cirebon terlahir dalam sebuah konsep adhiluhung, dimana gerak-gerak yang indah di dalam tarian Topeng Cirebon, mencerminkann makna dari kehidupan yang hakiki.
Keluhuran gerak tarian topeng adalah merupakan perwujudan bentuk-bentuk nafsu/keadaan jiwa yang bergejolak untuk mewujudkan dirinya, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah SWT.
Disini dapat disimpulkan bahwa : „ Tari adhiluhung adalah tari yang mempunyai nilai-nilai luhur yang berlatar belakang agama, dimana gerak-gerak indah yang tertata dalam tarian itu, mencerminkan arti dari kehidupan yang hakiki ”. Dan ini menurut hemat penulis, pengertian tari adhiluhung artinya sama dengan tari klasik. Karena tari adhiluhung mempunyai pola dengan standar gerak yang baku, sebagaimana tari klasik. Konsep terlahirnya 5 jenis Tari Topeng Cirebon yang biasa disebut Topeng Babakan, pada tiap-tiap jenis tariannya terpola dalam dua fase yang pertama adalah, gerak tarian ”baksa – rai” (gerak tarian yang tidak memakai kedhok). Kedua, gerak tarian ”rerai – kedok” (gerak tarian yang memakai kedhok).
Ciri-ciri ini menunjukan perbedaan apabila di bandingkan dengan ”Topeng Lakon”. Disinilah letaknya bahwa, 5 tarian topeng Cirebon dilahirkan Kanjeng Sunan Kalijaga yang digunakan sebagai media syiar Islam di Jawa Barat.
Topeng Lakon di dalam membawakan cerita Panji, sang penari langsung memakai kedhok. Sedangkan dalam topeng babakan (5 tarian pokok), sang penari tampil dengan tidak langsung memakai kedhok. Topeng Lakon menceritakan kehidupan di alam dhohir. Sedangkan Topeng Babakan menceritakan tentang kehidupan di alam bathin.
Gerak tarian baksa – rai di dalam topeng babakan, menceritakan proses perjalanan spiritual untuk mendekat kepada Allah. Sedangkan gerak tarian rerai – kedhok, menceritakan tentang kehidupan ketika telah mencapai titik-titik kesempurnaan (jiwa) yang bertingkat-tingkat, sebagaimana yang di gambarkan dalam 5 karakter kedhok pada tari topeng Cirebon. Dan pencapaian titik-titik kesempurnaan tersebut, ditengarahi ketika sang dhalang / penari rerai – kedhok.
Tari Topeng Cirebon tidak lepas dari karawitan (gamelan). Di dalam pengetahuan dan teori karawitan, terdapat istilah ” kempyung ” yang merupakan „roh” di dalam laras gamelan.
Dan apakah di dalam pengetahuan tari adhiluhung, istilah yang pengertiannya sama dengan kempyung masih tersembunyi ?
Adanya kehidupan di dalam laras gamelan, karena adanya keseimbangan sejumlah nada kempyung di dalam laras. Dan keseimbangan sejumlah nada kempyung tersebut menghidupkan laras gamelan, karena nada-nada kempyung adalah nada yang dicahayai sifat-sifat Allah dan Muhammad.
Pengertian nada di dalam karawitan, sejajar dengan „ bentuk gerak ” di dalam tari Topeng Cirebon. Kalau di dalam karawitan (Cirebon) ada istilah nada laras, nada miring, nada sanga, nada sepulu, dan nada blong, bentuk-bentuk gerak tari Topeng Cirebon yang manakah yang sejajar dengan nama-nama nada yang disebutkan di atas?
Berbicara tentang kesejajaran antara nada dan bentuk gerak dalam kebenaran, akan berbicara pula tentang kebenaran dalam kehidupan yang hakiki. Nada dan bentuk gerak adalah ruh. Dan kehidupan ruh di alam bathin, itulah makna dari kehidupan yang hakiki. Inilah konsep adhiluhung yang di ungkapkan Kanjeng Sunan Kalijaga dalam Ilmu Keindahan. Baik keindahan gerak, keindahan nada, keindahan garis dan warna, keindahan kata, dan atau keindahan-keindahan kesenian yang lainnya.
Keindahan suasana nada dalam gendhing, merupakan perwujudan dari keadaan jiwa di dalam laras gamelan. Dan perbedaan suasana gendhing di dalam laras gamelan, dalam makna musikal istilahnya disebut Patut / Pathet. Sedangkan patut/pathet dan juga beberapa unsur karawitan Cirebon yang lainnya, dalam makna spiritual, penulis ungkapkan secara ringkas dalam sebuah Abstraksi Filosofi Dimana gamelan adalah salah satu jenis makhluk yang diciptakan Allah SWT. Dan ini tersirat di dalam kitab suci Al-Qur’an.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun dan Maha Pengampun.” ( QS. 17. Al-Israa : 44 )
Gendhing dalam ukuran Pathet, merupakan perwujudan dari “bentuk nafsu” yang terselubung di dalam Laras gamelan. Di mana gendhing-gendhing dalam ukuran pathet ini, masih dalam bentuk-bentuk gendhing yang belum di ungkapkan nyata oleh Laras-laras gamelan. Sehingga diketahuinya keadaan jiwa dari ragam bentuk gendhing-gendhing surupan, dapat diketahui secara nyata ketika gendhing-gendhing dalam ukuran pathet tersebut, dilantunkan Laras-laras gamelan sempalan yang difungsikan sebagai Larasan Alit. Sejumlah laras sempalan di dalam Larasan Alit, merupakan perwujudan dari keadaan-keadaan jiwa laras gamelan. Dan suasana gendhing pada tiap-tiap laras gamelan sempalan, merupakan perwujudan dari keadaan-keadaan jiwa laras sempalan. Sedangkan suasana gendhing ketika di lantunkan suatu laras gamelan sempalan, merupakan perwujudan dari bentuk nafsu yang ada di dalam laras gamelan. Yang dalam makna musikal, suasana gendhing yang berbeda pada tiap-tiap laras sempalan, dibedakan melalui perbedaan nada dasar patutnya.
Nada dasar pathet dan Patut adalah nada-nada kempyung yang merupakan “roh” di dalam Surupan dan Laras Nada. Dimana nada kempyung inggil, merupakan nada yang dicahayai sifat-sifat Allah, sedangkan nada kempyung andap merupakan nada yang dicahayai sifat-sifat Muhammad. Jadi Kempyung (roh di dalam surupan dan Laras Nada), dapat diartikan sama dengan Ruh.
Ada jiwa berarti ada kehidupan, dan adanya kehidupan karena di dalam jiwa ada ruh yang membuatnya hidup. Ruh ditiupkan Allah ke dalam jiwa, sama seperti halnya Allah meniupkan kempyung kedalam Laras Nada, yang menjadikan kempyung di dalam Laras Nada tersebut bertahap menjadi berjarak dalam keseimbangan dua kempyung, tiga kempyung dan seterusnya hingga membentuk Surupan / Laras yang dikehendaki Nya.
Disini artinya bahwa “Ruh” yang berada di dalam laras gamelan berlapis dalam 3 istilah yaitu : 1. Laras = Jiwa 2. Surupan = Roh 3. Kempyung = Ruh Jadi, laras gamelan yang tidak mempunyai nada-nada kempyung (dalam keseimbangan), sama artinya dengan manusia hidup yang tidak berkehidupan.
Itulah sebabnya maka, nada-nada kempyung yang seimbang didalam laras gamelan, berkedudukan sebagai nada-nada dasar pathet atau patut pada gendhing / lagu, sebagaimana yang digambarkan dalam skema Rumus Pathet dan Patut. Dan karena itu maka, tanda-tanda kehidupan yang nyata di alam dhohir pada laras gamelan, dapat di tengarahi melalui adanya ngalih patut / ngalih laras / modulasi. Peralihan patut pada laras gamelan, sama seperti halnya ketika Allah membolak-balikan hati manusia. Dan ngalih patut bisa terjadi, karena adanya keseimbangan sejumlah kempyung di dalam laras gamelan, sebagaimana keseimbangan jiwa / roh pada manusia. Itulah sebabnya maka, bunyi kendang didalam perangkat gamelan (Cirebon), dilaras selaras dengan laras gamelannya.
Surupan disebut “jiwa” apabila Laras telah melebur, dan surupan berkedudukan sebagai Laras. Laras disebut roh (surupan), karena laras pun merupakan wilayah nada yang diduduki gendhing. Ini dapat dilihat dari uraian mengenai kesimpulan laras pelog yang wilayah nadanya meliputi 7 nada seperti di bawah ini. Contoh : Tujuh nada di dalam perangkat gamelan pelog, disebut Laras (Pelog). Dan gendhing di dalam gamelan pelog, diantaranya ada yang wilayah nadanya meliputi 7 nada. Surupan, merupakan wilayah nada yang diduduki oleh gendhing.
Jadi, pengertian Laras artinya sama dengan surupan (jiwa artinya sama dengan roh). Gendhing merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu yang ada di dalam laras gamelan, yang dalam makna musikal (Cirebon) disebut gendhing-gendhing surupan / gendhing-gendhing dalam ukuran pathet. Sedangkan gendhing dalam ukuran patut / gendhing larasan, merupakan perwujudan nyata dari gendhing dalam ukuran pathet. Dan suasana gendhing yang berbeda-beda di dalam laras gamelan, karena dipengaruhi oleh “keadaan jiwa” laras gamelan dalam sejumlah tingkatan tertentu (keadaan jiwa pada laras gamelan pelog Cirebon, terdiri dari 7 macam yakni : Laras Si Centing, Si Kacang, Si Prada, Asmaroneng, Si Ropo, Si Gadhing, dan Laras Genggong). Roh dalam kehidupannya di alam bathin, melahirkan bentuk-bentuk nafsu yang bergejolak untuk mewujudkan dirinya. Dan tatkala bentuk nafsu yang bergejolak sudah tidak dapat dikendalikan lagi, maka jiwa nampak dalam perwujudannya ketika gejolak nafsu yang berada di dalam diri manusia, wujud dalam bentuk sikap, perilaku, dan perbuatan / tindakan. Bentuk expresi jiwa yang mewujudkan bentuk-bentuk nafsu, nampak dari keadaan jiwanya yang memancarkan karakter dari makhluk pada maqam / kedudukan dalam tingkat spiritual tertentu.
Di sini dapat diartikan bahwa karakter adalah “tingkatan jiwa” (tingkatan jiwa laras gamelan Cirebon antara lain : laras gamelan Khodok Ngorek, gamelan Slendro, dan gamelan Pelog). Diatas telah diutarakan bahwa, laras disebut roh karena laras sama dengan surupan. Dan yang dimaksud dengan “laras” di sini adalah Laras Nada yang berada di dalam Laras Gamelan. Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka dapat di artikan bahwa: – Laras artinya tidak sama dengan surupan – Laras artinya sama dengan surupan Dan kalau kita bercermin pada gamelan, maka pengertian Roh dan Jiwa ialah : – Roh tidak sama dengan jiwa – Roh sama dengan jiwa Laras adalah kesatuan nada yang terbentuk dari sejumlah nada kempyung dalam keseimbangan. Kempyung adalah roh di dalam Surupan dan Laras Nada. Sedangkan surupan dan Laras Nada adalah roh di dalam Laras Gamelan. Jadi Laras dan surupan artinya sama dengan Kempyung. Kempyung sama dengan laras. Dan kempyung merupakan perpaduan dua nada. Disini artinya bahwa kempyung pengertiannya sama dengan nada. Kalau laras sama dengan kempyung, dan kempyung sama dengan nada, maka pengetian laras sama artinya dengan nada (laras, surupan, kempyung, dan nada, adalah ruh yang berada di dalam gamelan). Itulah sebabnya maka (sebutan) “Laras” di dalam karawitan Jawa, di gunakan sebagai istilah untuk menyebut satuan nada dan kesatuan nada (roh sama dengan jiwa).
Dalam karawitan Cirebon, pengertian laras tidak sama dengan nada, dan juga tidak sama pula dengan surupan. Disini artinya bahwa, pengertian roh tidak sama dengan jiwa. Kedudukan nada di dalam Ragam Jenis Laras Nada yang jumlahnya tidak terhingga, belum nampak kedudukannya sebelum Allah meniupkan kempyung kedalamnya. Allah menciptakan manusia (setelah Nabi Adam), melalui manusia yang berpasang-pasangan (sebagai suami istri). Dan Allah menciptakan perangkat gamelan, melalui manusia yang Dia pilih untuk “melahirkan” gamelan yang Dia kehendaki. Janin di dalam kandungan seorang ibu, bisa hidup karena Allah meniupkan roh ke dalam jiwanya. Begitupun nada-nada Laras di dalam Laras Gamelan, bisa hidup karena Allah meniupkan nada-nada kempyung ke dalamnya. Sehingga sejumlah nada-nada kempyung di dalam Laras Gamelan tersebut, berjarak dalam keseimbangan dua kempyung, tiga kempyung, empat kempyung, dan seterusnya. Bayi meninggal di dalam kandungan sebelum dilahirkan, karena kehendak dan kekuasaan Allah. Begitupun janin-janin Laras Gamelan yang telah wujud dalam bentuk saron misalnya, tidak akan lahir dalam bentuk perangkat gamelan, apabila tidak dikehendaki Allah. Karena Allah Maha Berkuasa dalam Penciptaan apa yang Dia kehendaki. Allahu alam ………….
Baiklah, dibawah ini adalah sekelumit tentang gambaran latar belakang spiritual dari 5 tarian pokok tari Topeng Cirebon yang dilahirkan Sunan Kalijaga.
1. Tari Panji Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Panji, adalah perwujudan dari tingkat kesucian jiwa hamba-hamba Allah yang terpilih, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah yang menyangkut „ Kebenaran yang sebenar-benarnya benar ”. Dan orang-orang yang berada di dalam tahapan ini disebut „ Wali ”. Cahaya ketenangan jiwa yang ridho dan diridhoi Allah, tercermin dalam kehalusan gerak-gerak indah yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak di dalam diri manusia. Gemuruh gendhing yang riuh rendah dalam tari Topeng Panji, mengiringi gerak-gerak indah yang menggambarkan kerinduannya kepada Allah dalam menggapai penyatuan dengan-Nya. Dan ketika hijab yang menghalangi dirinya sudah tidak ada lagi dengan sesungguh-sungguhnya, suatu tanda bahwa ia telah mencapai Ma’rifat sejati. Dimana dari dua roh telah menyatu dalam satu wujud.
2. Tari Pamindo Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Topeng Pamindo, adalah cerminan dari tingkat kesucian jiwa hamba Allah, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah yang menyangkut „Kebenaran yang sebenar-benarnya ”. Dan orang-orang yang berada di dalam tahapan ini disebut „ Irfan ” (orang-orang arif). Keladak lungguhan yang tergambar pada kedhok Pamindo, tercermin pada kelincahan geraknya yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak didalam diri manusia. Gejolak api cintanya yang makin membara, mengharap buaian kasih untuk lebih dicintai Allah. Kerinduannya makin menjadi tatkala dirinya bersimpuh dengan kelembutan relung hatinya yang sangat dalam. Kini taman hijau nan suci nampak dihadapannya, yang membuat dirinya makin berharap untuk lebih dekat memandang Keindahan-Nya yang abadi.
3. Tari Rumyang Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Rumyang, adalah cerminan dari tingkat kesucian jiwa hamba Allah, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah yang menyangkut „ Kebenaran yang sebenarnya ”, dimana disebut „ kebijakan ”. Keladakan yang lincah yang tergambar pada kedhok Rumyang, tercermin pada kelincahan gerak tariannya yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak di dalam diri manusia. Gejolak api cintanya yang jatuh kedalam hati, menyebabkan ia bangkit untuk menjawab suara-suara Illahi. Kerinduannya kepada Allah bergelora, ketika titik-titik noda hitam yang melekat didalam hatinya makin memudar. Dan kini ia menyadari akan arti dari kehidupan yang hakiki.
4. Tari Tumenggung Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Tumenggung, adalah cerminan dari tingkat kesucian jiwa hamba Allah, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah yang menyangkut „ kebenaran ”. Yang disebut ilmu pengetahuan konseptual tentang sesuatu yang tidak nyata. Kegagahan yang lungguh yang tergambar pada kedhok Tumenggung, tercermin pada kegagahan gerak tariannya yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak di dalam diri manusia. Gerak-gerak indah dalam tari Topeng Tumenggung, menggambarkan usaha terhadap pengendalian hawa nafsu, hingga sifat-sifat terpuji nampak menghiasi hatinya, walaupun di dalam dirinya masih terlilit oleh perbuatan yang tercela.
5. Tari Klana Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Topeng Klana, adalah cerminan dari jiwa yang terjerumus ke dalam jurang kehancuran, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah Allah yang menyangkut ajaran-ajaran agama mengenai kewajiban dan larangan berkenaan dengan tindakan di dunia. Kegagah perkasaan yang tergambar pada kedhok Klana, tercermin pada kegagahan gerak tariannya yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak di dalam diri manusia. Gejolak nafsu rendahnya yang penuh dengan keserakahan, keangkuhan, kekejaman, kesombongan dan segala perilaku serta perbuatan yang tidak terpuji, merebak keseluruh jiwanya untuk menguasai kehidupan di dunia dengan kemunafikannya. Hentakan tawa congkak nan angkuh, memporak porandakan sendi-sendi keimanan, sehingga jiwanya hancur karena cibiran senyum merekah, angkara murka.

pesona cirebon 3

Bentuk kesenian ini pada dasarnya adalah suatu pertunjukkan musik, namun disertai juga dengan drama pendek. Secara etimologis, nama tarling diambil dari singkatan dua alat musik yaitu "gitar" &
suling. Selain kedua alat musik ini terdapat pula sejumlah perkusi, saron, kempul & gong.
Awal perkembangan tarling tidak jelas. Namun demikian, pada tahun 1950-an, musik serupa tarling pernah disiarkan oleh RRI Cirebon & menjadikannya populer. Pada tahun 1960-an, pertunjukkan ini sudah dinamakan "tarling" & mulai memasukkan unsur-unsur drama kedalamnya.
Semenjak meluasnya popularitas musik dangdut pada tahun 1980-an, kesenian tarling-pun terdesak.
Ini memaksa para seniman tarling memasukkan unsur-unsur dangdut dalam pertunjukkan mereka, dan hasil perpaduan ini dinamakan "tarling-dangdut".
Pada dekade selanjutnya, akibat tuntutan
konsumennya sendiri, lagu-lagu tarling dikolaborasi dengan perangkat alat musik elektronik, sehingga terbentuk grup-grup "organ tunggal tarling". Pada era kini, tarling klasik sudah sangat jarang dipertunjukkan dan sudah tidak populer lagi.

Senin, 23 November 2015

Minggu, 22 November 2015

Sirup Tjampolay, Minuman Khas Cirebon (Sejak 1936)

Jika Anda berkunjung ke kota Cirebon, tak lengkap rasanya jika Anda tidak membeli Sirup Tjampolay, karena Sirup Tjampolay merupakan salah satu kuliner atau oleh-oleh khas Cirebon yang telah dikenal seja dulu.
Sirup Tjampolay merupakan salah satu kekayaan kuliner yang dimiliki oleh kota Cirebon, minuman ini diproduksi oleh Tan Tjek Tjiu, tepatnya pada 11 Juli 1936. Setelah Tan Tjek Tjiu meninggal dunia pada tahun 1964, produksi Sirup Tjampolay sempat berhenti beroperasi selama 6 tahun. Kemudian pada tahun 1970, Sirup Tjampolay kembali diproduksi oleh anak dari Tan Tjek Tjiu, Setiawan.
Dalam mengelola Sirup Tjampolay, Setiawan pun mengalami berbagai rintangan dan tantangan yang tidak mudah, hingga pada ahirnya usaha Sirup Tjampolay harus terhenti kembali. Namun, pada tahun 1983 usaha Sirup Tjampolay kembali bangkit melawan berbagai rintangan persaingan bisnis dan kondisi ekonomi bangsa yang tidak menentu.
Jatuh bangun bisnis Sirup Tjampolay kini telah berbuah manis, dengan keberhasilan Sirup Tjampolay sebagai salah satu sirup kenamaan di kota Cirebon, di Jawa Barat dan di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Usaha Sirup Tjampolay kini telah dilanjutkan oleh generasi ketiga keluarga Tan Tjek Tjiu.
Soal rasa, Sirup Tjampolay pada awalnya hanya diproduksi dengan tiga varian rasa, yaitu rasa rozen rose, asam jeruk dan nanas. Namun kini Sirup Tjampolay memiliki berbagai varian rasa yang lebih bervariatif, yaitu: Rasa rozen rose, asam jeruk, nanas, pisang susu, melon, leci, mangga gedong, jeruk nipis dan kopi moka. Rasa yang paling terkenal adalah rasa pisang susu. Jadi, jika Anda hendak membeli Sirup Tjampolay, kami merekomendasikan Anda untuk membeli Sirup Tjampolay rasa pisang susu.
Sirup Tjampolay dikemas dalam botol kaca berukuran 630 ml, dilengkapi label dan penutup botol yang masih mengusung konsep kesederhanaan atau masih sama seperti saat pertama kali diproduksi. Sirup Tjampolay terbuat dari bahan-bahan alami dan menggunakan gula murni, inilah yang membuat cita rasa Sirup Tjampolay tetap terjaga hingga saat ini.
Sirup Tjampolay kini telah dipasarkan secara luas ke beberapa kota besar di Indonesia. Namun, jika Anda ingin membeli Sirup Tjampolay langsung dar pabriknya, Anda bisa datang ke alamat Perusahaan Siroop Tjap Buah Tjampolay di Jalan Elang Raya K. 11-12, Kota Cirebon. (Berbagai sumber)
Mari kita lestarikan kuliner khas Cirebon dan kuliner nusantara lainnya.

Tahu Gejrot Khas Cirebon – Olahan Tahu dari Jawa Barat

Jawa Barat memiliki panganan khas yang menarik untuk dicoba, salah satunya adalah tahu gejrot. Tahu gejrot merupakan panganan khas dari Cirebon. Makanan khas yang satu ini telah banyak dikenal khalayak umum. Bahkan, di kota-kota besar tahu gejrot sering kali dijual oleh para penjual keliling.

Tahu Gejrot

Tahu Gejrot
Tahu Gejrot | Foto : proleevo(dot)wordpress(dot)com
Meskipun sama-sama berbahan dasar tahu, tahu gejrot tidak sama seperti tahu kupat atau makanan tahu yang lainnya. Tahu gejrot khas Cirebon terbuat dari tahu Sumedang yang digoreng terlebih dahulu. Setelah matang, tahu dipotong-potong dan diletakan disebuah piring kecil yang terbuat dari tanah liat. Beberapa pedagang tahu gejrot biasanya juga meletakan lembaran daun pisang agar tahu tidak secara langsung diletakkan di atas piring tanah liat tersebut.
Kegunaan dari daun pisang lainnya pun adalah memberikan aroma khas daun pisang yang sedari dulu sudah dipercaya menambah kenikmatan di setiap makanan yang tersaji diatasnya, tidak terkecuali dengan tahu gejrot. Piring kecil dari tanah liat dan daun pisang sebagai alas tahu gejrot menambah kenikmatan tersendiri bagi konsumen yang mengonsumsinya.
Penyajian Tahu Gejrot
Penyajian Tahu Gejrot | Foto : sukamemasak(dot)com
Tahu yang sudah dipotong-potong, diberi bumbu khas tahu gejrot. Bumbu tahu gejrot sendiri terdiri atas saus cair dan saus ulek. Saus cair terbuat dari bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, cabai hijau, gula merah, garam, air asam, kecap manis, dan air. Semua bahan diulek dan dicampurkan secara merata dan biasanya dimasukan ke dalam botol.
Pembuatan Tahu Gejrot
Pembuatan Tahu Gejrot | Foto : ngaprakbandung(dot)wordpress(dot)com
Dalam penyajiannya, setiap pedagang yang menjajakan tahu gejrot memiliki ciri khasnya tersendiri. Beberapa pedagang ada yang menyajikan tahu gejrot dengan bumbu cairnya saja dan ada juga yang menambahkan bumbu lain yang diiris atau diulek.
Bumbu Ulek Tahu Gejrot
Bumbu Ulek Tahu Gejrot | Foto : www(dot)indonesiakaya(dot)com
Bumbu yang diiris atau diulek ini biasanya terdiri atas bawang putih dan cabe rawit. Tentunya, pilihan bumbu ini bisa disesuaikan dengan minat pembeli. Beberapa pedagang tahu gejrot pun biasanya menambahkan bawang goreng ketika menyajikan menu khas Cirebon tersebut.

Asal Usul Tahu Gejrot

Tahu Gejrot Cirebon
Tahu Gejrot Cirebon | Foto : travelawan(dot)com
Tahu Gejrot khas Cirebon memang menjadi penganan yang banyak disukai oleh semua orang. Baik tua maupun muda, seakan menerima rasa dari tahu yang diberi bumbu khas ini. Namun, apakah Anda tahu bagaimana asal usul makanan dari tahu ini diberi nama tahu gejrot?
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tahu gejrot merupakan penganan yang berasal dari tahu Sumedang yang diberi bumbu yang diramu. Bumbu-bumbu ini terdiri atas bawang merah, bawang putih, cabai rawit, cabai hijau, air asam, kecap manis, dan air, semua bumbu dihaluskan dan dicampurkan. Setelah diramu, bumbu-bumbu tersebut dimasukan kedalam sebuah botol. Konon, pemberian nama gejrot pada makanan ini berasal dari suara yang ditimbulkan ketika bumbu dituang pada tahu yang telah disajikan.
Bumbu Tahu Gejrot
Bumbu Tahu Gejrot | Foto : destinasianews(dot)com
Tahu Sumedang yang sudah dipotong dan disajikan di atas piring kemudian diberi bumbu dari dalam botol. Ketika bumbu dalam botol tersebut dituangkan maka akan mengeluarkan suara yang berbunyi “jrot jrot”. Dari sinilah asal penamaan tahu gejrot ini mulai dikenal.
Asal Usul Tahu Gejrot
Asal Usul Tahu Gejrot | Foto : bebenyabubu(dot)com
Ada juga yang mengatakan tahu gejrot ini merupakan penganan gagal masyarakat Cirebon yang mencoba membuat tahu layaknya tahu Sumedang. Akan tetapi, proses pembuatan tahu tersebut dirasa kurang berhasil. Hasil akhir yang tidak seperti seharusnya tersebut kemudian dijadikan penganan lain yang tidak kalah enaknya. Tahu Sumedang yang dibuat dengan tidak sempurna tersebut kemudian diberi bumbu-bumbu, sehingga menghasilkan tahu gejrot yang banyak disukai oleh masyarakat sekarang ini.

Pemasaran Tahu Gejrot

Pedagang Tahu Gejrot
Pedagang Tahu Gejrot | Foto : commons(dot)wikimedia(dot)org
Di wilayah asalnya, tahu gejrot khas Cirebon ini sangat mudah dijumpai di sudut kota. Biasanya para pedagang tahu gejrot menjajakan makanan tersebut dengan menggunakan pikulan yang berisikan tahu, bumbu, dan tempat sajian tahu gejrot yang khas. Ada juga yang menjajakan tahu gejrot dengan menggunakan tampah yang diusung di atas kepala. Biasanya penjual yang menggunakan tampah tersebut merupakan pedagang perempuan.
Sebagai makanan yang tergolong jajanan tradisional, tahu gejrot dibandrol dengan harga sekitar Rp 3.000 sampai Rp 5.000. Untuk di kota-kota lain, tahu gejrot ini biasanya dijajakan ditempat keramaian atau di beberapa tempat wisata. Di Bandung sendiri, pedagang tahu gejrot ini bisa dijumpai di Car Free Day Dago setiap Hari Minggu dan beberapa tempat umum lainnya.

Nasi atau Sega Jamblang, Kuliner Khas Cirebon asal Desa Jamblang Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat

Sega Jamblang merupakan makanan/kuliner khas Wong Cirebon. Kata “Sega” pada nama kuliner ini berasal dari bahasa Cirebon yang artinya “Nasi”, kata “Jamblang” sendiri terkait dengan sebuah nama desa asal kuliner ini. Sedangkan kata “Wong” berasal dari bahasa Cirebon yang artinya adalah “Orang”. Nasi Jamblang ini termasuk salah satu kuliner Nusantara yang keberadaannya patut dilestarikan. Originalitas, cita rasa, dan ciri khas tersendiri dimiliki oleh Sega atau Nasi Jamblang.
Secara sederhana dapat digambarkan bahwa Sega Jamblang ini merupakan sejenis kuliner dengan nasi putih adem sebagai makanan pokoknya yang terbungkus daun jati serta beberapa alternatif lauk pauk atau makanan pendampingnya. Adapun lauk pauk yang dimaksud diantaranya adalah 1. Sambel Goreng dengan rasa pedas manis, terbuat dari cabai merah yang diiris tipis memanjang dan kemudian diolah serta dikemas ke dalam daun pisang berbentuk bundar kecil dengan garis tengah kurang lebih 5 cm; 2. Sate Telur Puyuh dengan rasa gurih, merupakan telur puyuh matang bundar yang telah dikupas cangkangnya, diolah dengan bumbu dan kemudian kurang lebih dalam lima butirnya ditusuk dengan sebuah tusuk bambu seperti halnya tusuk sate ayam dan kambing; 3. Sate Kentang yang disajikan mirip seperti Sate Telur Puyuh; 4. Sate Udang; 5. Semur Telor; 6. Telur Dadar; 7. Tahu Goreng; 8. Sayur Tahu; 9. Tempe Goreng, dengan kriuk hingga bagian dalam; 10. Blakutak, cumi-cumi yang telah dimasak bersama tintanya berwarna hitam; 11. Ikan Asin; 12. Semur Ikan; 13. Perkedel dan sebagainya.


Gambar : Warung Sega Jamblang
Sumber : Blog Blok Kliwon














Untuk mendapatkan Sega Jamblang bisa melalui penjual keliling maupun di warung makan. Pedagang Sega Jamblang keliling biasanya berjalan kaki dengan membawa tampah di atas kepala dan bakul di pinggangnya. Dari pedagang keliling ini kita bisa membeli dengan cara dibungkus untuk dibawa pulang atau menikmatinya dengan nongkrong di pinggir jalan. Tampah atau dalam sebutan bahasa Sundanya adalah Nyiru, adalah salah satu peralatan masak tradisional berupa anyaman terbuat dari bahan berupa bambu apus atau bambu tali yang memiliki karakter lentur atau tidak mudah patah dan berserat halus, berbentuk bundar cekung tipis, berdiameter antara 50-80 cm. Sedangkan bakul atau dalam bahasa Sundanya adalah Boboko, adalah salah satu peralatan masak tradisional berupa anyaman terbuat dari bahan berupa bambu apus atau bambu tali, berbentuk lingkaran berdiameter 40-45 cm pada bagian atas atau mulutnya sedangkan pada bagian badan hingga alas di bawahnya berbentuk segi empat dan berukuran lebih kecil daripada bagian atasnya, biasanya digunakan untuk tempat nasi.
Terkait asal mula nama Nasi atau Sega Jamblang, kata Jamblang pada nama kuliner ini bukan berasal dari sebuah pohon bernama Jamblang. Seperti yang sudah disebutkan di atas, kata Jamblang pada nama kuliner ini terkait dengan sebuah desa bernama Desa Jamblang yang secara administratif berada di Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon. Awalnya di desa tersebut banyak warga yang berprofesi menjajakan Sega jamblang, oleh karena itu kemudian muncullah ide dari warga untuk memberikan nama terhadap nasi berbungkus daun jati tersebut dengan sebutan Sega Jamblang.

Salah satu ciri khas atau keunikan yang sangat melekat pada Nasi atau Sega Jamblang ini yaitu pembungkus nasinya yang menggunakan daun jati atau bahasa Cirebonnya disebut dengan “Godong Jati”. Bagi seseorang yang baru atau pertama kali mencicipi ini, daun jati dengan tekstur kulit kasar dan kaku akan terasa agak sedikit aneh. Namun walaupun demikian, siapapun tidak perlu merasa khawatir untuk menikmati Sega Jamblang karena sebelumnya daun jati sudah terlebih dahulu dibersihkan. Sebenarnya tidak terlalu istimewa pada nasinya selain rasa pulen, seporsinya mirip dengan nasi kucing yang berukuran hanya segenggam tangan orang dewasa. Adapun alasan penggunaan daun jati pada nasi jamblang sebagai pembungkus nasi adalah karena sengaja nasinya dijual dan disajikan dalam kondisi adem setelah melalui proses pengipasan beberapa jam setelah matang dan selanjutnya dibungkus dengan daun jati. Bilamana nasi dibungkus dengan daun jati dalam kondisi hangat apalagi panas, maka akan membuat nasi berubah menjadi merah, dan itu yang tidak diinginkan oleh pembuat maupun pembelinya. Selain itu, daun jati bisa membuat nasi tetap terasa pulen dan tahan lama atau tidak akan cepat basi. Penggunaan daun jati sebagai pembungkus nasi berdasarkan pertimbangan bahwa pori-pori pada daun jati bisa membantu nasi akan tetap terjaga kualitasnya. Selain itu sebagai pembungkus nasi, daun jati bertekstur walaupun kulitnya kasar tetapi tidak mudah sobek, dan rusak.
Menikmati atau mengkonsumsi Nasi atau Sega Jamblang tidaklah sempurna bila menggunakan peralatan seperti sendok dan garpu. Dengan menggunakan tangan bersih saat menikmatinya, maka kehadiran nuansa tradisionalnya akan terasa semakin laut. Oleh karena itu, alangkah lebih nikmat bila dinikmati secara tradisional dengan tangan bersih sebagai “sendok jari”, sedangkan alas nasi dan lauk pauknya tetap dengan menggunakan daun jati.
Sebagai orang yang beberapa kali menikmatinya, Nasi atau Sega Jamblang terasa begitu sangat istimewa terlebih lagi dengan adanya sambal goreng merah dengan alas daun pisang berbentuk bundar kecil yang begitu nikmat sehingga membuat “kecanduan” untuk meminta ditambah terus dan tempe gorengnya yang “kriuk” luar dalam.
Untuk menemukan pedagang Nasi atau Sega Jamblang di Kota Cirebon, Sahabat bisa mendatangi rumah makan Nasi Jamblang “Mang Dul” di Jl. Cipto Mangunkusumo No. 3 Kota Cirebon. Rumah Makan ini merupakan salah satu rumah makan Nasi Jamblang yang sudah terkenal di Kota Cirebon bahkan pernah disiarkan oleh salah satu stasiun TV dengan hostnya Pak Bondan yang dikenal dengan ucapan “Maknyus”. Lokasinya berada di seberang jalan sebelah barat Grage Mall dan tidak jauh dari perempatan yang mempertemukan jalan Cipto, Wahidin, Kartini dan Tuparev. Di rumah makan ini, Sahabat bisa menikmati makanan tersebut dengan duduk di kursi dalam satu ruangan sekaligus menikmati pemandangan megahnya Mall tersebut. Tetapi bila ingin menikmatinya di ruang terbuka pinggir jalan, tidak jauh dari situ  tepatnya di trotoar seberang jalan sebelah selatan pintu masuk dan keluar Grage Mall juga berada jejeran warung tenda Nasi Jamblang. Selain di lokasi itu, Nasi Jamblang juga bisa ditemukan di sekitar jalan Pekalipan maupun di emperan jalan Siliwangi, namun di tempat ini makan tanpa meja, duduk ditanah beralaskan sandal juga tanpa ruangan atau tenda. Keberadaan pedagang Nasi Jamblang tidak hanya sebatas di daerah asal dan sekitarnya saja, melainkan bisa di temukan di beberapa kota daerah lain bahkan di wilayah ibu kota Jakarta. Menemukan pedagang Nasi Jamblang bisa karena pernah mengalami di suatu tempat, tanpa sengaja ketemu di sepanjang perjalanan atau mungkin karena petunjuk rekan secara langsung maupun melalui Mbah “Google”.
Nasi atau Sega Jamblang ini bukanlah makanan yang sengaja dikonsep mendadak untuk menjadi makanan atau kuliner khas Cirebon. Keberadaan makanan ini terjadi melalui sebuah sejarah. Dari Blog Disbudpar Kabupaten Cirebon diketahui bahwa Nasi Jamblang ini asal usul atau sejarahnya bermula pada tahun 1847, dimana pada saat itu, pemerintah kolonial Belanda sedang membangun beberapa pabrik gula yang berada di wilayah Plumbon, Gempol Palimanan, serta pabrik spirtus di Palimanan. Pembangunan beberapa pabrik tersebut banyak menggunakan warga sebagai pekerja atau buruh yang berasal dari Plumbon di Kabupaten Cirebon bagian barat, kawedanan Palimanan, dan beberapa daerah sekitarnya. Pekerja atau buruh tersebut dipekerjakan sebagai buruh lepas untuk perkebunan maupun di pabrik terutama di bagian administrasi, transportasi, perbengkelan, dan keamanan pabrik.  Para buruh yang berasal dari jauh seperti Bobos, Lokong, Cidahu, Cimara, Ciniru, Cisaat, dan Sindangjawa harus pergi sejak pagi- pagi buta dari rumahnya untuk berangkat kerja. Sebelum memulai bekerja mereka membutuhkan sarapan namun tidak ditemukan penjual nasi. Ketiadaan penjual nasi saat itu karena adanya anggapan bahwa menjual nasi itu tidak diperbolehkan atau dengan istilah pamali. Anggapan tersebut bisa dimaklumi pada saat itu selain karena orang tua kita saat itu banyak menyimpan padi atau beras juga karena peredaran uang saat itu masih sedikit sehingga mereka berpikir bahwa tidak apa-apa jika tidak menyimpan uang, namun bisa sengsara jika tidak menyimpan padi atau beras karena adanya rasa takut tidak bisa makan.
Melihat kondisi begitu banyaknya buruh lepas pabrik yang mencari warung nasi, akhirnya seorang warga bernama Ki Antara atau H. Abdulatif beserta istrinya bernama Ny. Pulung atau Ny Tan Piauw Lun memberanikan diri untuk memberikan sedekah berupa beberapa bungkus nasi kepada para buruh atau pekerja tersebut. Kedermawanan sepasang suami istri tersebut menjadi berita yang menyebar dari mulut ke mulut sehingga semakin banyak atau bertambah jumlah buruh yang datang kepadanya untuk meminta sarapan pagi. Karena niat awal sepasang suami istri adalah bersedekah kepada buruh, maka Ny. Pulung selalu menolak setiap pemberian uang dari para buruh tersebut karena para buruh menyadari segala sesuatu yang dapat dibeli harus mengeluarkan uang. Dengan melihat kondisi dilematis tersebut, para buruh bersepakat memberikan imbalan kepada Ny. Pulung hanya ala kadarnya saja. Informasi lainnya dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat disebutkan bahwa pada jaman Belanda awalnya Sega Jamblang yang merupakan makanan khas Kabupaten Cirebon diperuntukkan bagi para pekerja paksa yang sedang membangun jalan raya Daendels dari mulai Anyer menuju Pamanukan yang melewati wilayah Kabupaten Cirebon yaitu tepatnya di Desa Kasugengan.

CIREBON ITU DOCANG ITU CIREBON

DOCANG...Wah apa itu?!! Sejenis transportasikah? Nama negara? Nama Orang? Alat pertanian? Alat Tulis? Nama makanan? IYA ITU MANA YANG NEBAK NAMA MAKANAN??!!!
Tul docang itu jenis makanan khas asal Cirebon. Rasanya pedas. Unik. Berkuah. Dan bertabur kelapa parut. Isinya lontong, oncom atau dage orang cirebon bilang, daun singkong, toge (toge asli yaa...bukan toge yang lain hehehe), dan berkuah khas. Wah lupa itu krupuknya protes!! IYA ada satu lagi krupuk. Dan krupuknya tidak bisa asal krupuk. Krupuk putih biasa tidak enak kalau dipadukan dengan docang. Ada yang bilang krupuk docang juga namanya, kecil kecil dan berwarna putih kusam. BUkan putih bersih.
Sampe detik tadi saya sedari brojol di kota udang ini juga belum tau asal muasal kata DOCANG. Aneh...saya utak atik sendiri nama itu tidak ketemu apa artinya. Akhirnya menyerah, angkat tangan sama mbah google dan ponakannya mbak wikipedia. Hehehehe...mereka tau segalanya.
Ini penjelasan dari mbak wiki apa itu docang. Katanya berasal dari kata bodo dan kacang disingkat docang. Bodo itu sendiri berarti oncom atau dage. Kacang ya kacang, namun disini berarti toge. Jadilah docang!!!
Docang dengan gundukan krupuk khasnya
Gimana bahan lainya ga pada protes. Mau ente apa namanya??? DOCANGDAKONGTONGPUK gitu namanya (boDO, kaCANG, DAun singKONG, lonTONG, kruPUK) tukang spanduk aja gak sanggup buatnya. Bhahahahaha...
Saya suka banget sama docang. Biasanya saya beli hari minggu pagi. Jaman sekolah dulu mah naek sepeda ke sebuah Gang yang namanya Gang Rotan di Jalan Karanggetas. Udah lama banget ga kesana, ga tau masih ada ga. Dulu aja udah tua orangnya...sekarang juga pasti udah tua hehehe
Pilihan lain, saya yang lebih modern, adalah di Jalan Siliwangi dekat stasiun Kejaksan Cirebon. Keduanya memiliki kemiripan rasa dan kuah yang berwarna merah. Rasanya maknyosss!!!
Cara makan yang saya suka tuh krupuknya ditenggelamkan - kalo gak mau paksa aja - sampe lemes dan tak berdaya baru mulut saya menyantap. Beeuuuuhhhh nikmeeehhh rasanyaaaa. Maaf kalo ada yang gak suka krupuk lemes, enak lho coba aja!!. 
Ini gambar krupuk yang udah dipaksain tenggelem
Sayangnya gambar yang saya upload hanya docang yang ada di lingkungan rumah saya sekarang. Memang kalo ga sempet kesana, banyak juga yang berjualan docang di pagi hari. Harganya mulai 3000 (iya serius 3000) sampai, yang udah ngerasa jago n terkenal hehehe harganya bisa 9000.
Gak semua orang suka docang. Mungkin lebih tepatnya gak berani nyoba. Salah satunya sssttttt...mertua saya *celingukan kali aja tiba-tiba nongol. Katanya berantakan....ruwet.... makanan mentah....belum aja nyoba Pak pasti ketagihan. Makanya dulu waktu pacaran gak pernah nyogok pake docang. Kalo sampe...ga bakal saya jadi menantunya. Fiuhhh untung..untung...soalnya pernah kepikiran beliin docang
Mangga dicoba docange, tinggal teka, dodok lan mangan!! ngerti gak???
Ditunggu yaa yang mau nyoba docang di Cirebon

Empal Gentong, Makanan Khas Wong Cerbon

Empal gentong(89.2-CR)-adalah makanan khas masyarakat Cirebon, Jawa Barat. Makanan ini mirip dengan gulai (gule) dan dimasak menggunakan kayu bakar (pohon mangga) di dalam gentong (periuk tanah liat). Daging yang digunakan adalah usus, babat dan daging sapi. Empal gentong berasal dari desa 


Battembat, kecamatan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon.

Nama empal gentong memang sesuai dengan bahan utama racikan hidangan berkuah asal Cirebon ini. Nama empal menunjukkan bahan utamanya memang daging sapi dengan sedikit lemak. Sedangkan sebutan gentong untuk menunjukkan proses memasaknya memakai kuali atau periuk tanah liat.
Istilah empal di Cirebon adalah gulai, bukan gepuk atau dendeng. Disebut demikian karena dimasak paling sedikit lima jam dalam gentong atau kuali menggunakan bahan bakar khusus, yaitu kayu dari pohon asam. Hal itu guna menciptakan rasa dan tingkat keempukan daging. Cara memasak dengan kuali ini sudah dilakukan secara turun temurun. Wadah tanah liat yang sudah dipakai bertahun-tahun akan memberi sentuhan rasa sedap yang tiada tara. Tentu saja karena kerak bumbu sudah mengendap di pori-pori tanah liatnya.
Selain menggunakan kayu bakar dan gentong, makanan ini disajikan dengan daun kucai (Chlorella sorokiniana) dan sambal berupa cabai kering giling. Sambal empal gentong ini sangatlah pedas sebab merupakan saripati cabai merah kering yang kemudian ditumbuk. Empal gentong dapat disajikan dengan nasi atau juga lontong. Lontong menurut orang cirebon hanyalah beras yang dimasukan kedalam daun pisang yang sudah dibentuk silinder, tidak ada campuran lainnya, kemudian direbus selama 4 jam.
Pada saat disajikan api harus tetap membara untuk menjaga suhu makan standar. Paduan daun kucai sebagai penyedap sekaligus penetralisir lemak serta sambal cabai kering dan kerupuk rambak (kerupuk kulit kerbau) menjadikan rasa yang khas.
Mencari pedagang empal gentong sekarang agak susah karena mereka biasanya menggunakan gerobak untuk mendorong dagangannya. Pedagang empal gentong yang ngetop di Cirebon adalah Mang Darma yang mangkal di Jl. Slamet Riyadi. Ia sudah berjualan empal sejak tahun 1948 secara berkeliling di Kota Cirebon. Empal gentong Mang Darma juga bisa di temukan di beberapa tempat lainnya di Cirebon seperti di Pujagalana, Stasiun Kereta Cirebon atau di Grage Mal yang semuanya dikelola anak-anak Mang Darma. Di Jakarta, Empal gentong Mang Darma bisa ditemukan di daerah Bintaro. (Us/CR)

Kerajinan Rotan Cirebon Kreasi Anak Bangsa yang Nyaris Punah

Sebagai salah satu kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia, Cirebon terletak di lokasi yang strategis dan merupakan simpul pergerakan transportasi orang dan barang, dari Jawa Barat ke Jawa Tengah atau sebaliknya. Nama Cirebon berasal dari kata Caruban (dalam bahasa Sunda) yang berarti campuran karena merupakan campuran dari beberapa budaya seperti Sunda, Jawa, Tionghoa dan Arab.
Sebagian berpendapat bahwa kata Cirebon merupakan gabungan dari kata Ci yang berarti air atau sungai dan Rebon yang berarti udang (dalam bahasa Sunda) karena kota ini merupakan salah satu penghasil udang terbesar di Indonesia.
Karena begitu banyak pesona yang ditawarkan Cirebon, mulai dari wisata sejara kejayaan Islam, kisah para wali, komplek Makam Sunan Gunung Jati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid At Taqwa, Kelenteng kuno hingga bangunan-bangunan bersejarah lainnya, kota ini menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Barat..
Selain itu, para wisatawan juga dapat menikmati keindahan arsitektur keraton yang berada di dalam kota seperti Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Bangunan kedua keraton ini merupakan gabungan dari elemen kebudayaan Islam, Cina dan Belanda. Untuk wisata alam, wisatawan dapat mengunjungi Taman Air Sunyaragi yang memiliki teknologi pengairan air yang canggih pada masanya dan Taman Ade Irma Suryani.
Karena banyaknya wisatawan yang datang mengunjungi Cirebon, perindustrian dan perdagangan di kota ini mulai berkembang pesat. Salah satunya adalah batik. Kerajinan Batik khas Cirebon dikenal menarik baik oleh di dalam maupun luar negeri seperti Jepang, Amerika, Malaysia, Thailand dan Belanda.
Motif dan corak batik Cirebon berbeda dari batik yang berasal dari daerah. Batik Cirebon dipengaruhi oleh karakter penduduk masyarakat pesisiran yang pada umumnya memiliki jiwa terbuka dan mudah menerima pengaruh asing. Desain batik tersebut antara lain, Kapal Kompeni, Penari Cina, Pekalis, Semarangan, Burung Gelatik dan lain-lain.
Sejak 1930
Selain memiliki sejumlah obyek wisata yang menarik dan kerajinan batik, Cirebon juga dikenal dengan kerajinan rotan. Kerajinan rotan di Cirebon tersebar di enam kecamatan, yaitu kecamatan Weru terutama di desa Tegalwangi, Kecamatan Plered di desa Tegalsari, Kecamatan Plumbon, Kecamatan Depok, Kecamatan Sumber dan Kecamatan Palimanan.
Rencananya pemerintah setempat akan memperluas areal kerajinan rotan dengan menyiapkan 2.000 hektar ke arah timur. Selain bermanfaat untuk melebarkan sayap industri kerajinan rotan, persiapan kerajinan rotan di daerah tersebut adalah salah satu bentuk upaya meratakan pertumbuhan ekonomi di Cirebon.
Kerajinan rotan di Cirebon mulai dirintis sejak tahun 1930. Di awal tahun 1980, kerajinan rotan menjadi komoditi ekspor dengan produk andalan seperti meja dan kursi rotan, tas, tempat lampu, dan aksesoris-aksesoris lainnya. Hampir 80% dari produk tersebut diekspor ke luar negeri. Beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor kerajinan rotan Cirebon adalah Belanda, Jerman, Belgia, Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa Timur. Belakangan Rusia dan negara di Asia dan Afrika mulai melirik kerajinan rotan khas Cirebon.
Selain produk yang disebut di atas, berikut ini produk kerajinan rotan khas Cirebon yang banyak diminati oleh wisatawan dalam maupun luar negeri:
  • Lampu hias
  • Dekorasi pelaminan pengantin
  • Alas tempat tidur
  • Matras
  • Anyaman rotan
  • Hiasan dinding/ rumah
Pada masa kejayaannya, kerajinan rotan Cirebon menjadi salah satu industri rumahan yang paling menjanjikan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan masuknya pangsa pasar kerajinan rotan di dunia. Dan menurut data Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) pada tahun 2007 silam, ekspor kerajinan rotan di Cirebon mencapai 47,7 ton atau senilai USD 132,66 juta.
Merosot
Saat ini, kerajinan rotan sudah mengalami kemerosotan. Kemunduran ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya pasokan bahan baku rotan. Masalah ini terjadi karena terjadinya penurunan jumlah perusahaan pengolahan rotan. Menurut Data Asmindo, sebanyak 250 ribu petani rotan di Sulawesi Tengah mengganti profesinya menjadi seorang penambang emas atau petani cokelat karena harga rotan yang tidak menjanjikan.
Faktor lainnya adalah nilai impor bahan baku yang cukup mahal. Dengan berkurangnya pasokan bahan baku dari dalam negeri, pengusaha kerajinan rotan di Cirebon mencari cara untuk mendapatkan bahan baku dari tempat lain, misalnya dengan mengimpor bahan tersebut dari negara lain. Biaya impor yang cukup mahal membuat mereka mulai mundur untuk meneruskan produksi rotan.
Kenaikan BBM beberapa waktu belakangan ini juga menambah beban bagi para pengusaha kerajinan rotan di Cirebon. Mereka berasumsi bahwa distribusi bahan baku dan pengiriman produk kerajinan rotan mereka menjadi terhambat karena kondisi tersebut. Mau tidak mau, para pengusaha kerajinan rotan di Cirebon harus mengutak-atik biaya ekonomi dari produksi yang mereka jalani.
Saat ini, lebih dari 400.000 orang penduduk setempat yang menggantungkan hidup dari industri kerajinan rotan di Cirebon. Kebijakan yang salah akan berdampak besar terhadap kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu, penting sekali menghidupkan kejayaan kerajinan rotan khas di Cirebon agar dapat menyelamatkan warisan budaya bangsa dan hidup para pekerja industri tersebut. (Putri Cahya Ningtyas)

Sejarah Batik Trusmi Cirebon

Batik Trusmi Cirebon mulai ada sejak abad ke 14. suatu daerah dimana saat itu tumbuh banyak tumbuhan, kemudian para warga menebang tumbuhan tersebut namun secara seketika kemudian tumbuhan itu tumbuh kembali. Sehingga tanah tersebut dinamakan Desa Trusmi yang berasal dari kata terus bersemi.

Asal mulanya Sultan kraton menyuruh orang trusmi untuk membuat batik seperti miliknya tanpa membawa contoh batik, dia hanya di perbolehkan melihat motifnya saja. Saat jatuh tempo, orang trusmi itu kemudian datang kembali dengan membawa batik yang telah dia buat.Ketika itu orang trusmi tersebut meminta batik yang asli kepada Sultan,yang kemudian di bungkuslah kedua batik itu (batik yang asli dengan batik buatannya/duplikat).

Orang trusmi kemudian menyuruh sultan untuk memilih batik yang asli namun sangking miripnya sultan tidak dapat membedakannya, batik duplikat tersebut tidak ada yang meleset sama sekali dari batik aslinya. sehingga sultan mengakui bahwa batik buatan orang trusmi sangat apik, tanpa membawa contoh batik yang aslinya dapat membuat batik yang sama persis.

Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”.

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega Mendung”, di mana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Ragam corak dan warna batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara, seperti: Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia (Jawa) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.

Cara pembuatan
Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain, seperti: sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

Jenis batik
* Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.
* Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap ( biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.

Sejarah Kejayaan Kesultanan Cirebon, 1445–1677, Kesultanan Pakungwati Cirebon

Menurut Sulendraningrat yg mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda & Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya ialah sebuah dukuh kecil yg dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yg lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yg ramai & diberi nama Caruban [Bahasa Sunda: campuran], karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, & mata pencaharian yg berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat ialah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan & rebon [udang kecil] di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, & garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi [belendrang] dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon [Bahasa Sunda:, air rebon] yg kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yg ramai & sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar & menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dlm kegiatan pelayaran & perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Kesultanan Cirebon ialah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 & 16 Masehi, & merupaken pangkalan penting dlm jalur perdagangan & pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yg merupaken perbatasan antara Jawa Tengah & Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan & “jembatan” antara kebudayaan Jawa & Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yg khas, yaitu kebudayaan Cirebon yg tak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yg pertama yg diangkat oleh masyarakat baru itu ialah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi & Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yg tak lain ialah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yg juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yg kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa [atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati] ialah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang & membangun sebuah gubug & sebuah tajug [Jalagrahan] pada tanggal 1 Syura 1358 [tahun Jawa] bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap & membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

Masa Kesultanan Cirebon [Pakungwati]

Pangeran Cakrabuana […. –1479]

Pangeran Cakrabuana ialah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yg kedua bernama SubangLarang [puteri Ki Gedeng Tapa]. Nama kecilnya ialah Raden Walangsungsang, sesudah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim & Raden Sangara. Sebagai anak sulung & laki-laki ia tak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam [diturunkan oleh Subanglarang-ibunya], sementara saat itu [abad 16] ajaran agama mayoritas di Pajajaran ialah Sunda Wiwitan [agama leluhur orang Sunda] Hindu & Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yg ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yg penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati & membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yg dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon ialah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yg usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yg memerintah dari keraton Pakungwati & aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

Sunan Gunung Jati [1479-1568]

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah [1448-1568] yg sesudah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah & bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Pertumbuhan & perkembangan yg pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon & Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali [Galuh], Sunda Kelapa, & Banten.

Fatahillah [1568-1570]

Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yg selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, & memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun sesudah Sunan Gunung Jati wafat & dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Panembahan Ratu I [1570-1649]

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tak ada calon lain yg layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I & memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

Panembahan Ratu II [1649-1677]

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yg bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yg kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten & Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram [Amangkurat I ialah mertua Panembahan Girilaya]. Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya & Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten ialah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura & ditahannya Pangeran Martawijaya & Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya ialah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya ialah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

Perpecahan Kesultanan Cirebon

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yg bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa [anak dari Pangeran Abu Maali yg tewas dlm Perang Pagarage], beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yg disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yg ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yg telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tak beraliansi lagi dengan Mataram.

Perpecahan I Kesultanan Cirebon [1677]

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, & Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupaken babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga & masing-masing berkuasa & menurunkan para sultan berikutnya.
Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
  1. Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin [1677-1703]
  2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin [1677-1723]
  3. Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati [1677-1713].
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, & keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan [paguron], yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yg bisa memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

Perpecahan II Kesultanan Cirebon [1807]

Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV [1798-1803], dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit [Bahasa Belanda: surat keputusan] Gubernur-Jendral Hindia Belanda yg mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra & para penggantinya tak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran.
Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yg lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin [1803-1811].

Masa Kolonial Belanda di Cirebon

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dlm ikut campur dlm mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 & 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon [Kota Cirebon], yg mencakup luas 1. 100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20. 000 jiwa [Stlb. 1906 No. 122 & Stlb. 1926 No. 370]. Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2. 450 hektar. Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yg tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dlm Kota Cirebon & Kabupaten Cirebon, yg secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota & bupati.

Masa kemerdekaan Indonesia

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tak lagi merupaken pusat dari pemerintahan & pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yg ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon & sekitarnya.
Kesultanan Cirebon turut serta dlm berbagai upacara & perayaan adat masyarakat & telah beberapa kali ambil bagian dlm Festival Keraton Nusantara [FKN]. Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yg paling penting karena merupaken keraton tertua yg berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, & yg terkemudian ialah Keraton Kacirebonan & Keraton Kaprabonan. Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin & Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.
sejarah kerajaan carebon gayatri dalam kerajaan cirebon kesultanan cirebon banten pangeran cirebon anak walangsungsang cakrabuana cerita pangeran cerebon nama raja di cirebon pecahnya kerajaan cirebon menjadi 2 pada abad ke kerajaan cirebon cakrabuana pangeran cirbon sejarah kerajaan cirebon jawa barat sejarah berdirinya keraton kasepuhan pangeran cirebon sultan cirebon pertama kesultanan cirebon Islam Radikal