Selasa, 24 November 2015

pesona cirebon 4

Sebuah perjalanan dalam renungan akan keindahan kesenian Cirebon melahirkan sebuah catatan yang ”belum terselesaikan”, ketika menelusuri jejak-jejak tari topeng Cirebon dalam permulaan dari penciptaan gerak-gerak indah yang diungkapkan Kanjeng Sunan Kalijaga hingga melahirkan 5 (lima) karakter tarian topeng Cirebon.
Kesenian Cirebon yang diwariskan secara tradisi (turun menurun), merupakan karya-karya adhiluhung yang lahir dari keindahan spiritual orang-orang pilihan Allah. Dimana kesenian Cirebon merupakan pencerminan dari kehidupan manusia di alam bathin yang hidup dalam kehidupannya yang hakiki. Disinilah letak rahasianya, sehingga didalam melestarikan keutuhan karya-karya seni dahulu yang kita warisi, diupayakan kemurniannya tetap terjaga. Karena dari karya-karya seni yang adhiluhung inilah, tersimpan mutiara-mutiara yang bercahaya yaitu “ilmu mengenai kebenaran tentang keindahan” yang apabila terungkap, maka karya-karya seni di Cirebon akan berkembang dengan pengembangan yang tiada batas, dan dengan tidak merusak karya-karya seni adhiluhung yang dilahirkan para wali Allah.
Rahasia kesenian, tersembunyi dibalik pengetahuan serta teorinya. Dan teori dilahirkan dari sebuah rumusan yang merupakan “perwujudan” dari makna spiritual, yang terkandung di dalamnya. Kemudian dari sini lantas kita bertanya, bagaimana bentuk rumusannya sehingga teori kesenian dapat dilahirkan. Inilah hal yang sangat penting yang harus diketemukan. Karena dengan ditemukannya rumusan-rumusan tersebut, maka karya-karya seni yang baru akan lahir dan berkembang dengan tanpa batas. Dan karya-karya seni dari para wali Allah pun, tetap terjaga kelestariannya. Jadi pelestarian visual serta pengetahuan dan teori kesenian adhiluhung yang tetap terjaga kemurniannya, adalah kunci untuk mengembangkan hasil karya-karya baru yang indah, ketika telah terungkap mengenai kebenarannya.
Di Cirebon ada beberapa jenis Kesenian yang termasuk ke dalam Kesenian Adhiluhung diantaranya yaitu : Wayang Kulit, Barongan/Berokan, Topeng, dan Ronggeng/Tayub. Dan ini diisyaratkan dalam transkripsi 7375 yang terdiri dari 41 buah Suluk dari daerah Cirebon (Menurut Pigeaud, bahwa naskah ini terdiri dari 181 halaman, berukuran 22 x 35 x 1cm berbahasa Jawa, berbentuk puisi dan isinya mengenai mistik. Puisi-puisi ini disusun / disalin / dihimpun oleh Sultan Adijaya dan penghulu bernama Abdul Kahar dari Cirebon, dan diperlihatkan kepada Snouck Hurgronje oleh patih Bratawijaya pada tahun 1896 dengan sepuluh Surat berbahasa Sunda / Pigeaud, II, 1967 : 424. Salinan tersebut mulai disalin pada tahun 1891 dan termuat dalam manuskrip / KBG No: 66 ; sebuah salinan lagi dibuat tahun 1876 pada daun lontar / palmeaf dari manuskrip milik Pangeran Raja Keprabonan Cirebon / Dr. Simuh, Suluk The Mystical Poetry of Javanese Muslims, hlm ; 1) .
Suluk Topeng terdiri dari 18 Suluk dalam bentuk pupuh Pucung, yang dua diantaranya yaitu bait pertama dan kedua, penulis mencoba untuk menterjemahkan berdasarkan pemahaman pribadi seperti dibawah ini.
Suluk Topeng Pucung
1. Topeng angleger sedheng mangsané bedug, dénya mung paésan. Hakékat kang sebeneré, sinawang Cipta adhining petopéngan.
Terjemahan : Kedhok yang dipakai (Dhalang Topeng) dikala saat tarian berlangsung, sesungguhnya hanya hiasan. Hakekat yang sebenarnya, tersirat dalam ungkapan luhurnya gerak tarian topeng.
2. Ya dhalangé ya wayangé dénya nengguh, ora nana liyan. Mung masi (h) aling-alingé, aning rerai kedhok pinangka wrana.
Terjemahan : Ya dhalangnya ya wayangnya nyata terkesan, tidak ada yang lain (hanya satu wujud). Tetapi masih ada penghalangya, kedhok di wajah merupakan halangan (dalam penyatuan).
Topeng sebagai perlambang hakekat ditegaskan dalam Suluk bait ke dua, dimana hijab yang membatasi jarak antara hamba dan Tuhan dilambangkan hanya sebatas muka yang tertutup kedhok. Sedangkan yang dimaksud pada bait ke satu, yang pertama adalah : Kedhok hanya hiasan apabila gerak tari tidak berada di dalamnya (kata sandi dari hiasan : hidup yang dihidupkan).
Dan tidak ada kehidupan pada kedhok walaupun ia hidup karena gerak tari, apabila dhalang topeng tidak menggerakkan gerak tariannya. Sedangkan dhalang topeng / penari tidak dapat menggerakkan gerak tariannya kalau tidak karena Allah.
Disini artinya bahwa :
Kedhok = Jiwa
Gerak tari = Roh
Dhalang topeng = Roh Idhofi/Nyawa.
Sedangkan yang ke dua bahwa, tari Topeng Cirebon terlahir dalam sebuah konsep adhiluhung, dimana gerak-gerak yang indah di dalam tarian Topeng Cirebon, mencerminkann makna dari kehidupan yang hakiki.
Keluhuran gerak tarian topeng adalah merupakan perwujudan bentuk-bentuk nafsu/keadaan jiwa yang bergejolak untuk mewujudkan dirinya, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah SWT.
Disini dapat disimpulkan bahwa : „ Tari adhiluhung adalah tari yang mempunyai nilai-nilai luhur yang berlatar belakang agama, dimana gerak-gerak indah yang tertata dalam tarian itu, mencerminkan arti dari kehidupan yang hakiki ”. Dan ini menurut hemat penulis, pengertian tari adhiluhung artinya sama dengan tari klasik. Karena tari adhiluhung mempunyai pola dengan standar gerak yang baku, sebagaimana tari klasik. Konsep terlahirnya 5 jenis Tari Topeng Cirebon yang biasa disebut Topeng Babakan, pada tiap-tiap jenis tariannya terpola dalam dua fase yang pertama adalah, gerak tarian ”baksa – rai” (gerak tarian yang tidak memakai kedhok). Kedua, gerak tarian ”rerai – kedok” (gerak tarian yang memakai kedhok).
Ciri-ciri ini menunjukan perbedaan apabila di bandingkan dengan ”Topeng Lakon”. Disinilah letaknya bahwa, 5 tarian topeng Cirebon dilahirkan Kanjeng Sunan Kalijaga yang digunakan sebagai media syiar Islam di Jawa Barat.
Topeng Lakon di dalam membawakan cerita Panji, sang penari langsung memakai kedhok. Sedangkan dalam topeng babakan (5 tarian pokok), sang penari tampil dengan tidak langsung memakai kedhok. Topeng Lakon menceritakan kehidupan di alam dhohir. Sedangkan Topeng Babakan menceritakan tentang kehidupan di alam bathin.
Gerak tarian baksa – rai di dalam topeng babakan, menceritakan proses perjalanan spiritual untuk mendekat kepada Allah. Sedangkan gerak tarian rerai – kedhok, menceritakan tentang kehidupan ketika telah mencapai titik-titik kesempurnaan (jiwa) yang bertingkat-tingkat, sebagaimana yang di gambarkan dalam 5 karakter kedhok pada tari topeng Cirebon. Dan pencapaian titik-titik kesempurnaan tersebut, ditengarahi ketika sang dhalang / penari rerai – kedhok.
Tari Topeng Cirebon tidak lepas dari karawitan (gamelan). Di dalam pengetahuan dan teori karawitan, terdapat istilah ” kempyung ” yang merupakan „roh” di dalam laras gamelan.
Dan apakah di dalam pengetahuan tari adhiluhung, istilah yang pengertiannya sama dengan kempyung masih tersembunyi ?
Adanya kehidupan di dalam laras gamelan, karena adanya keseimbangan sejumlah nada kempyung di dalam laras. Dan keseimbangan sejumlah nada kempyung tersebut menghidupkan laras gamelan, karena nada-nada kempyung adalah nada yang dicahayai sifat-sifat Allah dan Muhammad.
Pengertian nada di dalam karawitan, sejajar dengan „ bentuk gerak ” di dalam tari Topeng Cirebon. Kalau di dalam karawitan (Cirebon) ada istilah nada laras, nada miring, nada sanga, nada sepulu, dan nada blong, bentuk-bentuk gerak tari Topeng Cirebon yang manakah yang sejajar dengan nama-nama nada yang disebutkan di atas?
Berbicara tentang kesejajaran antara nada dan bentuk gerak dalam kebenaran, akan berbicara pula tentang kebenaran dalam kehidupan yang hakiki. Nada dan bentuk gerak adalah ruh. Dan kehidupan ruh di alam bathin, itulah makna dari kehidupan yang hakiki. Inilah konsep adhiluhung yang di ungkapkan Kanjeng Sunan Kalijaga dalam Ilmu Keindahan. Baik keindahan gerak, keindahan nada, keindahan garis dan warna, keindahan kata, dan atau keindahan-keindahan kesenian yang lainnya.
Keindahan suasana nada dalam gendhing, merupakan perwujudan dari keadaan jiwa di dalam laras gamelan. Dan perbedaan suasana gendhing di dalam laras gamelan, dalam makna musikal istilahnya disebut Patut / Pathet. Sedangkan patut/pathet dan juga beberapa unsur karawitan Cirebon yang lainnya, dalam makna spiritual, penulis ungkapkan secara ringkas dalam sebuah Abstraksi Filosofi Dimana gamelan adalah salah satu jenis makhluk yang diciptakan Allah SWT. Dan ini tersirat di dalam kitab suci Al-Qur’an.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun dan Maha Pengampun.” ( QS. 17. Al-Israa : 44 )
Gendhing dalam ukuran Pathet, merupakan perwujudan dari “bentuk nafsu” yang terselubung di dalam Laras gamelan. Di mana gendhing-gendhing dalam ukuran pathet ini, masih dalam bentuk-bentuk gendhing yang belum di ungkapkan nyata oleh Laras-laras gamelan. Sehingga diketahuinya keadaan jiwa dari ragam bentuk gendhing-gendhing surupan, dapat diketahui secara nyata ketika gendhing-gendhing dalam ukuran pathet tersebut, dilantunkan Laras-laras gamelan sempalan yang difungsikan sebagai Larasan Alit. Sejumlah laras sempalan di dalam Larasan Alit, merupakan perwujudan dari keadaan-keadaan jiwa laras gamelan. Dan suasana gendhing pada tiap-tiap laras gamelan sempalan, merupakan perwujudan dari keadaan-keadaan jiwa laras sempalan. Sedangkan suasana gendhing ketika di lantunkan suatu laras gamelan sempalan, merupakan perwujudan dari bentuk nafsu yang ada di dalam laras gamelan. Yang dalam makna musikal, suasana gendhing yang berbeda pada tiap-tiap laras sempalan, dibedakan melalui perbedaan nada dasar patutnya.
Nada dasar pathet dan Patut adalah nada-nada kempyung yang merupakan “roh” di dalam Surupan dan Laras Nada. Dimana nada kempyung inggil, merupakan nada yang dicahayai sifat-sifat Allah, sedangkan nada kempyung andap merupakan nada yang dicahayai sifat-sifat Muhammad. Jadi Kempyung (roh di dalam surupan dan Laras Nada), dapat diartikan sama dengan Ruh.
Ada jiwa berarti ada kehidupan, dan adanya kehidupan karena di dalam jiwa ada ruh yang membuatnya hidup. Ruh ditiupkan Allah ke dalam jiwa, sama seperti halnya Allah meniupkan kempyung kedalam Laras Nada, yang menjadikan kempyung di dalam Laras Nada tersebut bertahap menjadi berjarak dalam keseimbangan dua kempyung, tiga kempyung dan seterusnya hingga membentuk Surupan / Laras yang dikehendaki Nya.
Disini artinya bahwa “Ruh” yang berada di dalam laras gamelan berlapis dalam 3 istilah yaitu : 1. Laras = Jiwa 2. Surupan = Roh 3. Kempyung = Ruh Jadi, laras gamelan yang tidak mempunyai nada-nada kempyung (dalam keseimbangan), sama artinya dengan manusia hidup yang tidak berkehidupan.
Itulah sebabnya maka, nada-nada kempyung yang seimbang didalam laras gamelan, berkedudukan sebagai nada-nada dasar pathet atau patut pada gendhing / lagu, sebagaimana yang digambarkan dalam skema Rumus Pathet dan Patut. Dan karena itu maka, tanda-tanda kehidupan yang nyata di alam dhohir pada laras gamelan, dapat di tengarahi melalui adanya ngalih patut / ngalih laras / modulasi. Peralihan patut pada laras gamelan, sama seperti halnya ketika Allah membolak-balikan hati manusia. Dan ngalih patut bisa terjadi, karena adanya keseimbangan sejumlah kempyung di dalam laras gamelan, sebagaimana keseimbangan jiwa / roh pada manusia. Itulah sebabnya maka, bunyi kendang didalam perangkat gamelan (Cirebon), dilaras selaras dengan laras gamelannya.
Surupan disebut “jiwa” apabila Laras telah melebur, dan surupan berkedudukan sebagai Laras. Laras disebut roh (surupan), karena laras pun merupakan wilayah nada yang diduduki gendhing. Ini dapat dilihat dari uraian mengenai kesimpulan laras pelog yang wilayah nadanya meliputi 7 nada seperti di bawah ini. Contoh : Tujuh nada di dalam perangkat gamelan pelog, disebut Laras (Pelog). Dan gendhing di dalam gamelan pelog, diantaranya ada yang wilayah nadanya meliputi 7 nada. Surupan, merupakan wilayah nada yang diduduki oleh gendhing.
Jadi, pengertian Laras artinya sama dengan surupan (jiwa artinya sama dengan roh). Gendhing merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu yang ada di dalam laras gamelan, yang dalam makna musikal (Cirebon) disebut gendhing-gendhing surupan / gendhing-gendhing dalam ukuran pathet. Sedangkan gendhing dalam ukuran patut / gendhing larasan, merupakan perwujudan nyata dari gendhing dalam ukuran pathet. Dan suasana gendhing yang berbeda-beda di dalam laras gamelan, karena dipengaruhi oleh “keadaan jiwa” laras gamelan dalam sejumlah tingkatan tertentu (keadaan jiwa pada laras gamelan pelog Cirebon, terdiri dari 7 macam yakni : Laras Si Centing, Si Kacang, Si Prada, Asmaroneng, Si Ropo, Si Gadhing, dan Laras Genggong). Roh dalam kehidupannya di alam bathin, melahirkan bentuk-bentuk nafsu yang bergejolak untuk mewujudkan dirinya. Dan tatkala bentuk nafsu yang bergejolak sudah tidak dapat dikendalikan lagi, maka jiwa nampak dalam perwujudannya ketika gejolak nafsu yang berada di dalam diri manusia, wujud dalam bentuk sikap, perilaku, dan perbuatan / tindakan. Bentuk expresi jiwa yang mewujudkan bentuk-bentuk nafsu, nampak dari keadaan jiwanya yang memancarkan karakter dari makhluk pada maqam / kedudukan dalam tingkat spiritual tertentu.
Di sini dapat diartikan bahwa karakter adalah “tingkatan jiwa” (tingkatan jiwa laras gamelan Cirebon antara lain : laras gamelan Khodok Ngorek, gamelan Slendro, dan gamelan Pelog). Diatas telah diutarakan bahwa, laras disebut roh karena laras sama dengan surupan. Dan yang dimaksud dengan “laras” di sini adalah Laras Nada yang berada di dalam Laras Gamelan. Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka dapat di artikan bahwa: – Laras artinya tidak sama dengan surupan – Laras artinya sama dengan surupan Dan kalau kita bercermin pada gamelan, maka pengertian Roh dan Jiwa ialah : – Roh tidak sama dengan jiwa – Roh sama dengan jiwa Laras adalah kesatuan nada yang terbentuk dari sejumlah nada kempyung dalam keseimbangan. Kempyung adalah roh di dalam Surupan dan Laras Nada. Sedangkan surupan dan Laras Nada adalah roh di dalam Laras Gamelan. Jadi Laras dan surupan artinya sama dengan Kempyung. Kempyung sama dengan laras. Dan kempyung merupakan perpaduan dua nada. Disini artinya bahwa kempyung pengertiannya sama dengan nada. Kalau laras sama dengan kempyung, dan kempyung sama dengan nada, maka pengetian laras sama artinya dengan nada (laras, surupan, kempyung, dan nada, adalah ruh yang berada di dalam gamelan). Itulah sebabnya maka (sebutan) “Laras” di dalam karawitan Jawa, di gunakan sebagai istilah untuk menyebut satuan nada dan kesatuan nada (roh sama dengan jiwa).
Dalam karawitan Cirebon, pengertian laras tidak sama dengan nada, dan juga tidak sama pula dengan surupan. Disini artinya bahwa, pengertian roh tidak sama dengan jiwa. Kedudukan nada di dalam Ragam Jenis Laras Nada yang jumlahnya tidak terhingga, belum nampak kedudukannya sebelum Allah meniupkan kempyung kedalamnya. Allah menciptakan manusia (setelah Nabi Adam), melalui manusia yang berpasang-pasangan (sebagai suami istri). Dan Allah menciptakan perangkat gamelan, melalui manusia yang Dia pilih untuk “melahirkan” gamelan yang Dia kehendaki. Janin di dalam kandungan seorang ibu, bisa hidup karena Allah meniupkan roh ke dalam jiwanya. Begitupun nada-nada Laras di dalam Laras Gamelan, bisa hidup karena Allah meniupkan nada-nada kempyung ke dalamnya. Sehingga sejumlah nada-nada kempyung di dalam Laras Gamelan tersebut, berjarak dalam keseimbangan dua kempyung, tiga kempyung, empat kempyung, dan seterusnya. Bayi meninggal di dalam kandungan sebelum dilahirkan, karena kehendak dan kekuasaan Allah. Begitupun janin-janin Laras Gamelan yang telah wujud dalam bentuk saron misalnya, tidak akan lahir dalam bentuk perangkat gamelan, apabila tidak dikehendaki Allah. Karena Allah Maha Berkuasa dalam Penciptaan apa yang Dia kehendaki. Allahu alam ………….
Baiklah, dibawah ini adalah sekelumit tentang gambaran latar belakang spiritual dari 5 tarian pokok tari Topeng Cirebon yang dilahirkan Sunan Kalijaga.
1. Tari Panji Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Panji, adalah perwujudan dari tingkat kesucian jiwa hamba-hamba Allah yang terpilih, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah yang menyangkut „ Kebenaran yang sebenar-benarnya benar ”. Dan orang-orang yang berada di dalam tahapan ini disebut „ Wali ”. Cahaya ketenangan jiwa yang ridho dan diridhoi Allah, tercermin dalam kehalusan gerak-gerak indah yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak di dalam diri manusia. Gemuruh gendhing yang riuh rendah dalam tari Topeng Panji, mengiringi gerak-gerak indah yang menggambarkan kerinduannya kepada Allah dalam menggapai penyatuan dengan-Nya. Dan ketika hijab yang menghalangi dirinya sudah tidak ada lagi dengan sesungguh-sungguhnya, suatu tanda bahwa ia telah mencapai Ma’rifat sejati. Dimana dari dua roh telah menyatu dalam satu wujud.
2. Tari Pamindo Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Topeng Pamindo, adalah cerminan dari tingkat kesucian jiwa hamba Allah, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah yang menyangkut „Kebenaran yang sebenar-benarnya ”. Dan orang-orang yang berada di dalam tahapan ini disebut „ Irfan ” (orang-orang arif). Keladak lungguhan yang tergambar pada kedhok Pamindo, tercermin pada kelincahan geraknya yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak didalam diri manusia. Gejolak api cintanya yang makin membara, mengharap buaian kasih untuk lebih dicintai Allah. Kerinduannya makin menjadi tatkala dirinya bersimpuh dengan kelembutan relung hatinya yang sangat dalam. Kini taman hijau nan suci nampak dihadapannya, yang membuat dirinya makin berharap untuk lebih dekat memandang Keindahan-Nya yang abadi.
3. Tari Rumyang Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Rumyang, adalah cerminan dari tingkat kesucian jiwa hamba Allah, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah yang menyangkut „ Kebenaran yang sebenarnya ”, dimana disebut „ kebijakan ”. Keladakan yang lincah yang tergambar pada kedhok Rumyang, tercermin pada kelincahan gerak tariannya yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak di dalam diri manusia. Gejolak api cintanya yang jatuh kedalam hati, menyebabkan ia bangkit untuk menjawab suara-suara Illahi. Kerinduannya kepada Allah bergelora, ketika titik-titik noda hitam yang melekat didalam hatinya makin memudar. Dan kini ia menyadari akan arti dari kehidupan yang hakiki.
4. Tari Tumenggung Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Tumenggung, adalah cerminan dari tingkat kesucian jiwa hamba Allah, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah yang dianjurkan Allah yang menyangkut „ kebenaran ”. Yang disebut ilmu pengetahuan konseptual tentang sesuatu yang tidak nyata. Kegagahan yang lungguh yang tergambar pada kedhok Tumenggung, tercermin pada kegagahan gerak tariannya yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak di dalam diri manusia. Gerak-gerak indah dalam tari Topeng Tumenggung, menggambarkan usaha terhadap pengendalian hawa nafsu, hingga sifat-sifat terpuji nampak menghiasi hatinya, walaupun di dalam dirinya masih terlilit oleh perbuatan yang tercela.
5. Tari Klana Kedhok yang dipakai dhalang topeng dalam tari Topeng Klana, adalah cerminan dari jiwa yang terjerumus ke dalam jurang kehancuran, tatkala mengarungi kehidupannya dalam menjalankan perintah Allah yang menyangkut ajaran-ajaran agama mengenai kewajiban dan larangan berkenaan dengan tindakan di dunia. Kegagah perkasaan yang tergambar pada kedhok Klana, tercermin pada kegagahan gerak tariannya yang merupakan perwujudan dari bentuk-bentuk nafsu atau keadaan jiwa yang bergejolak di dalam diri manusia. Gejolak nafsu rendahnya yang penuh dengan keserakahan, keangkuhan, kekejaman, kesombongan dan segala perilaku serta perbuatan yang tidak terpuji, merebak keseluruh jiwanya untuk menguasai kehidupan di dunia dengan kemunafikannya. Hentakan tawa congkak nan angkuh, memporak porandakan sendi-sendi keimanan, sehingga jiwanya hancur karena cibiran senyum merekah, angkara murka.

Tidak ada komentar: